SELAMAT DATANG PARA PENCINTA KATA

Foto: sumberpost/Muksalmina

Foto: sumberpost/Muksalmina

Team sumberpost FC, memakai kostum berwarna kuning, berpose bersama dengan team Sanggar FC, pada pertandingan persahabatan di Lapangan IAIN Ar-Raniry, Darussalam-Banda Aceh.

Minggu, 08 Juni 2008

Legenda Kota Tapaktuan


SIANG ITU, awal Desember lalu, langit di Tapaktuan begitu cerah. Tak ada mendung yang menggantung. Geliat aktivitas masyarakat seperti biasa. Semuanya berjalan normal. Tentunya, geliat ini tidak terlihat dua tahun lalu, sebelum MoU damai Aceh antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka ditandatangani. Ya, paskapenandatanganan di Helsinki itu, Tapaktuan kembali hidup.

Kota ini menyimpan legenda tentang asal muasal nama Tapaktuan. Kota Naga, sebutan untuk kota itu bukan tidak memiliki sejarah. Legenda inilah yang diburu banyak ahli sejarah ke kota yang berkelok-kelok dikaki bukit dan didepan pantai Samudera India ini. Jam menunjukkan pukul 10.00 Wib saat kami mengunjungi rumah Nasiruddin Gani, salah seorang ahli sejarah kota tersebut, 30 Nopember 2007 lalu. Usianya 60 tahun. Namun, gaya bahasa Wakil Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Aceh Selatan ini lugas dan jelas. Senyumnya menyambut kedatangan kami dirumahnya yang sederhana tepat dibelakang Kota Tapaktuan.

Nasiruddinpun mulai bercerita. Alkisah, dizaman dahulu kala, ribuan tahun lalu, di Aceh Selatan hidup dua ekor naga yang sangat perkasa dan memiliki ilmu sakti mandraguna. Sepasang naga ini, memiliki anak yang bernama Putri Naga. Putri ini cantik jelita. “Saya mendengar cerita ini ketika waktu remaja, dari Teungku Imam Ibrahim (Imam besar Mesjid Tapaktuan) kala itu dan Patih Muhammad Syam, orang yang mengerti sejarah kota ini,” sebutnya. Lelaki ini mengenakan kemeja lengan pendek warna coklat susu. Nasiruddin melanjutkan ceritanya.

Putri nan rupawan ini, katanya didapat dari perebutan sepasang Naga (Jantan dan Betina) dengan orangtua sang putri. Legenda klasik ini terus merakyat di Tapaktuan. Secara turun temurun, legenda itu terus berkembang. Bahkan remaja yang hidup di zaman modern ini, di Tapaktuan juga mengetahui cerita ini.

Konon ceritanya, suatu ketika – tidak ada masyarakat yang mengetahui tahun pasti, sepasang naga tengah berjalan-jalan menyusuri lautan yang bergelombang. Si Naga jantan tiba-tiba berhenti, tertegun memperhatikan sebuah titik hitam di tengah laut. Titik hitam itu menarik perhatiannya. Lamat-lamat titik hitam itu mendekat ke arah sang naga. Gelombang laut yang membawanya mendekat. Si Naga Jantan dan Betina terus memperhatikan titik hitam itu.

Ketika titik hitam itu semakin mendekat, Sang Naga terjun alang kepalang. Titik hitam itu adalah tiga sosok manusia, berada lam perahu kecil yang diombang-ambingkan gelombang laut Aceh Selatan.

Ketiga manusia itu adalah sepasang suami-istri bersama bayinya. Bayi mungil ini berada dalam pangkuan ibunya. Mereka sengaja datang ke daerah itu bermaksud mencari rempah-rempah yang keberadaannya sudah cukup dikenal. Aceh Selatan sejak zaman Belanda menjajah daerah itu memang dikenal kaya akan hasil alam. Nilam, Cengkeh dan Pala merupakan tumbuhan yang dominan disana. Bahkan tumbuhan itu hingga kini menjadi komuditi unggulan daerah itu.

***

Seteguk teh manis hangat membasahi kerongan Nasiruddin. Lelaki murah senyum ini bertanya pada saya. ”Bagaimana, sampai disini, anak yakin tidak,” tanyanya pada saya. Saya tersenyum dan mengatakan cerita ini menarik.

”Kalau mau merokok, silahkan. Saya lanjutkan ceritanya nanti, ”sebutnya sambil meletakkan gelas teh diatas meja kaca diruang tamu rumahnya. Di dapur, cucu-cucu Nasiruddin terlihat sibuk bermain.

Lelaki yang telah ditumbuhi uban dikepalanya inipun bercerita, setelah melihat ketiga anak manusia itu, Sepasang Naga sakti yang bisa melakukan terhentak. Lalu, dia meniup perahu yang sudah sangat dekat itu. Sekali tiup saja, perahu kecil itu terombang-ambing dan tenggelam ditelan ombak deras. Kemudian Naga Betina, menjulurkan lidahnya menangkap putri kecil yang terhempas dari perahu itu.

Pasangan Naga ini sangat senang mendapatkan putri berbentuk manusia. Konon naga itu memang sudah lama mengidam-idamkan seorang putri. ”Setelah selamat dan menepi kedarat orangtua si Putri begitu sedih kehilangan buah hatinya dan tidak tahu ke mana putrinya menghilang. Mereka berpikir bahwa anak perempuan kesayangannya sudah hilang tenggelam dalam lautan dan badai atau hilang entah ke mana,” ujar Nasiruddin tersenyum.

Matahari mulai terik. Jam dinding berdentang 12 kali. Sudah dua jam Nasir bercerita. Lalu, pria ini menarik nafas dalam-dalam. Disandarkannya tubuhnya ke kursi model jepara itu. Dia melanjtkan ceritanya. Akhirnya sepasang naga membawa putri mungil hasil rampasan mereka ke sebuah pulau, pulau ini terletak di Batu Hitam, Kecamatan Tapaktuan Aceh Selatan.

Kedua Naga itu sangat menyanyangi putri pungut mereka. Bahkan, Naga betina selalu memeluk putri kecil dalam cengkeramnya agar tidak hilang. Sang Putri kecil, setelah sadar dari pingsannya, menangis sejadi-jadinya begitu melihat sosok Naga aneh dan menyeramkan. Si Putri kecil Ia takut. Diapun terus menangis sekuat-kuatnya. Naga betina pusing memikirkan tangisan putri itu. Terpaksa dia menggunakan kesaktiannya untuk menenangkan si Putri agar tak mengeluarkan air mata lagi.

Putri ini diberi nama Putri Bungsu. Mereka sangat mengasihi putri ini. Bahkan Naga Jantan menciptakan tempat bermain nan indah di gunung itu. Semua buah-buahan dan minuman tersedia disana. Semua itu dilakukan agar Putri Bungsu betah tinggal bersama mereka. ”Putri inilah yang kemudian disebut Putri Naga,” ungkap Nasiruddin.

Waktu terus bergulir. Putri Bungsu merangkak remaja. Dia menetap bersama naga disebuah gua yang dalam. Suatu hari, sang Putri Bungsu secara tak sengaja mendengar obrolan sepasang Naga. Dari luar gua dia terus menyimak percakapan itu. Dia tersentak. Sadar, bahwa dirinya bukan keturunan naga. Dia memiliki orang tua yang juga berasal dari bangsa manusia.
Niat untuk melarikan diripun muncul dalam benaknya. Putri Bungsu tidak gegabah. Dia bersabar untuk menemukan waktu yang tepat melarikan diri dari gunung itu. Dia takut akan kesaktian kedua naga tersebut.

***

Waktu yang dinantikanpun tiba. Dari atas gunung, Putri Bungsu melihat sebuah kapal berlayar dibawah kaki gunung itu. Gunung ini memang tepat berada di depan laut. Naga Jantan kala itu sedang tertidur dipinggir laut. Perlahan dia mengangkat kaki, sedikit menjinjing agar langkahnya tidak didengar Naga Jantan.

Perahu layar semakin dekat. Dia bimbang. Teringat akan kesaktian naga tersebut. Jarak Naga Jantan beristirahat dengan laut sangat dekat. Khawatir ketahuan, diapun mengurungkan niat untuk kabur dari gunung itu.

Siang-malam Putri nan cantik jelita itu mencari akal. Ide cemerlangpun muncul dikepalanya. Satu dia mengajak pasangan Naga berjalan-jalan menyusuri pantai di pulau itu. Naga kelelahan dan tertidur pulas. Putri Bungsu tak menyianyiakan kesempatan emas itu. Kakinya diseret ke atas sebuah bukit kecil yang dekat dengan laut. Agar dia bisa melihat perahu yang melintas.

Jarang sekali perahu yang mahu mendekat ke pulau itu. Namun hari itu keberuntungan Putri Naga. Sebuah perahu kecil merapat. Dia melambaikan tangan. Awak perahu ada yang menyapanya.

”Perahu inilah yang membawa putri bungsu pergi,” tegas Nasiruddin. Putri bungsu naik ke atas kapal dan ikut bersama awak kapal itu. Naga yang baru terbangun dari tidur, terkejut setengah mati. Putri kesanyangannya telah pergi. Dalam benaknya, Naga berujar, pasti perahu itu yang melarikan putriku. Dia mengejar perahu yang berjalan sangat pelan itu.

***

Lalu apa hubungan Putri Bungsu, Naga dan Tuan Tapa? Nasiruddin melanjutkan kisahnya. Sepasang Naga itu mengejar perahu tersebut. Sementara itu, di Gua Kalam, tidak jauh dari bukit itu, seorang manusia sedang bertapa. Dia tersentak dari pertapaanya. Seakan dia sadar akan ada bencana besar dibumi. Inilah Tuan Tapa.

Dia keluar dari gua tersebut. Lalu menatap ke laut lepas. Terlihat sepasang Naga dengan kemarahan puncak sedang mengejar sebuah perahu nelayan. Tuan Tapa terkenal dengan tongkat saktinya.

Dihadangnya Naga yang sedang mengejar perahu. Permuluhan hebatpun tak dapat dihindarkan. Dari mulut kedua Naga menyemburkan api. Tuan Tapa menghela tongkatnya hingga mengeluarkan air deras dan memadamkan api Naga. Tak mau kalah, sang Naga jantan pun mengeluarkan ribuan anak panah berapi yang diarahkan ke Tuan Tapa. Tuan Tapa bisa menghindari serangan itu. Tak ketinggalan, Naga betina juga mengeluarkan pisau-pisau beracun yang juga berhasil dielakkan Tuan Tapa.

Karena terus-menerus mengeluarkan kekuatannya, kesaktian kedua Naga mulai berkurang. Kesempatan itu dimanfaatkan Tuan Tapa untuk menyerang lebih dahsyat. Dengan tongkat sakti miliknya, Tuan Tapa mengayunkan benda panjang itu ke arah dua Naga. Naga betina, mencoba menghindar dengan cara melarikan diri menjauhi Tuan Tapa. Saat lari kencang tak tahu arah itulah sang Naga betina menabrak sebuah pulau hingga terbelah pulau. Pulau terbelah ini kemudian oleh masyarakat Aceh Selatan disebut sebagai Pulau Dua, di Kecamatan Tapaktuan Aceh Selatan

Sementara Tuan Tapa mengejar sang Naga jantan yang sudah terluka akibat serangan ‘tongkat sakti’. Tuan Tapa memukul tongkat saktinya bertubi-tubi ke tubuh Naga jantan hingga hancur berkeping-keping dan jatuh terjerembab ke tanah. Tubuh Naga jantan hancur berserakan dan darah berceceran yang menyebar memerahkan tanah, bebatuan dan lautan.

Lanjut Nasiruddin, bekas tempat ceceran darah Naga itu kini masih terlihat berupa tanah dan batu yang memerah. Kini disebut dengan Tanah Merah. Sedangkan hati sang Naga, yang pecah dan terlempar menjadi beberapa bagian akibat pukulan tongkat sakti Tuan Tapa, peninggalannya hingga sekarang masih terlihat berupa batu-batu berwarna hitam berbentuk hati. Daerah ini kemudian diberi nama Desa Batu Hitam, masih dikecamatan yang sama.

Di tempat pertempuran Naga dan Tuan Tapa, masih meninggalkan jejak berupa tongkat. Tongkat mirip baru itu, dipercayai sebagai tongkat Tuan Tapa.
Bagaimana nasib sang Putri? Beberapa tokoh masyarakat di daerah itu menceritakan, dalam legenda tersebut dikisahkan sang Putri akhirnya kembali hidup normal layaknya manusia dan hidup bahagia bersama kedua orangtuanya. Putri Bungsu kemudian mendapat julukan sebagai ‘Putri Naga’.

Karena kisah ini pula, orang menyebutkan Aceh Selatan sebagai Kota Naga. Bahkan, jika memasuki kota Tapaktuan pemerintah Daerah Aceh Selatan mengukir gambar naga tepat di dinding pinggir jalan. Sekitar seratus meter dari arah timur kantor Bupati Aceh Selatan.

”Anak boleh percaya boleh tidak. Mungkin kalau ditanya ke masyarakat lain, cara penyampaiannya yang berbeda,” sebut Nasiruddin. Lalu, saya memastikan ucapan Nasiruddin Gani. Saya temui Zamzami Surya mantan Kabag Kebudayaan Dinas Pariwisata Aceh Selatan. Pria berbadan kecil ini, mengakui kebenaran cerita Nasiruddin. Zamzamy yang kini menjabat Kepala Dinas Bapedalda Aceh Selatan tersenyum saat saya menanyakan kisah Kota Naga.

”Sebenarnya, ceritanya sama. Cara penyampaiannya yang berbeda. Yang pasti dalam semua cerita yang disampaikan tokoh adat atau masyarakat biasa tentang legenda ini tak terlepas tiga hal, yaitu ada dua ekor naga, perahu, tuan tapa. Putri Bungsu. Lalu, ada pertempuran,” sebutnya sambil tersenyum.

Satu lagi, lanjut Zamzamy, lihatlah bukit itu. Tangannya menunjuk kesebalah timur kota Tapaktuan. Sebuah gunung menjulang. ”Perhatikan bukit itu. Disitulah putri dan naga itu tidur,” sebutnya. Bukit itu mirip Putri yang sedang tidur. Tampak rambut terurai dengan buah dada yang terlihat jelas. Ini juga disebutkan oleh Nasiruddin Gani.

Bila cuaca cerah, gambaran bukit seperti putri tidur itu terlihat jelas. ”Apalagi jika bulan purnama, semakin jelas,” sebut Zamzamy Surya. Nama Putri Bungsu menjadi ikon wisata tersendiri di Tapaktuan. Bahkan, sebuah hotel yang berada di pusat kota ini diberi nama Putro Bungsu (Putri Bungsu) oleh pemiliknya. [Foto dan Teks: Masriadi Sambo]

Dimas Sambo. http://www.blogger.com/profile/08294404474618426989noreply@blogger.com

"Tsunami" Dari Gunung Landa Aceh

Oleh: Nizwar

Banda Aceh-Hujan lebat yang akhir-akhir ini mengguyur hampir seluruh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) telah mengakibatkan banjir di beberapa kabupaten/kota. Bahkan dua orang meninggal dunia terseret arus banjir di kabupaten Aceh Selatan.

Akankah ini menjadi “tradisi yang harus dirayakan” rakyat Aceh? Mengingat hampir tiap tahun banjir selalu terjadi di bumi Serambi Mekkah ini.

Masih kental diingatan kita bagaimana dahsyatnya musibah banjir bandang di Aceh Tamiang akhir Desember 2006 lalu. Banyak nyawa melayang. Rumah pun rata diseret arus banjir.

Apalagi ladang tempat para petani mencari nafkah, yang dulunya di tanami tanaman jeruk, langsat dan tanaman lainnya, ludes ditelan banjir. Tak ketinggalan ternak milik masyarakat setempat ikut disapu banjir bandang.

Sebelum di Aceh Tamiang, Kabupaten Aceh Tenggara juga pernah terjadi banjir bandang. Disusul kemudian kota Sabang. Di kedua Kabupaten ini turut merenggut korban jiwa maupun harta.

Diakui atau tidak, salah satu sebab terjadinya banjir dikarenakan banyak pohon di hutan Aceh yang ditebang sembarangan tanpa ada penanaman kembali. Pohon yang seharusnya berfungsi sebagai penahan/penyerap air disaat hujan, telah dibabat oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Penulis menilai, banjir yang melanda hampir di seluruh provinsi NAD terjadi akibat proses percepatan rehab dan rekon yang “tidak ikhlas” dari pihak yang bertanggung jawab, dalam hal ini Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias.

BRR merupakan lembaga yang dibentuk langsung oleh pemerintah pusat karena terjadinya musibah gempa dan tsunami Desember 2004 lalu di Aceh dan Nias. Banyaknya negara asing yang membantu Aceh dan Nias tanpa ada yang mengontrol, memaksa pemeritah membentuk badan tersebut.

BRR juga diamanahkan untuk secepatnya menyelesaikan rehab dan rekon di berbagai sektor di Aceh dan Nias. Seluruh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) baik lokal maupun asing yang tunduk kepada BRR.

Pemerintah memberi target penyelesaian proses rehab rekon hingga tahun 2009 kepada BRR dan sejumlah LSM/NGO asing untuk menuntaskan programnya.

Ke-tidak ikhlasan dari tiga pihak yang penulis nilai bertanggung jawab (Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan BRR NAD-Nias) pun mulai ditampakkan. Seperti yang pernah ditulis di rubrik lingkungan, Majalah Aceh Magazine, edisi Februari 2006. Aksi protes mengiringi kebijakan Menteri Kehutanan (Menhut) mengenai tambahan kuota tebang kayu di Aceh tahun 2006 yang sepuluh kali lebih besar dibanding sebelumnya.

Alasan Menhut menambah kuota tersebut untuk mendukung rehab dan rekon Aceh di masa mendatang. Beruntung kebijakan itu ditentang oleh berbagai elemen masyarakat, termasuk anggota DPRD Nanggroe Aceh Darussalam. Bahkan Asrul Abbas, dari Fraksi PAN menilai kebijakan Menhut ini telah melukai hati rakyat Aceh.

Belum lagi masalah masih banyaknya korban gempa dan tsunami yang belum memiliki rumah dan terpaksa menginap di Hunian Sementara (HUNTARA). Padahal uang yang ada di BRR sangat banyak. Terlebih lagi target yang diberi pemerintah untuk BRR menyelesaikan misinya hanya tinggal beberapa bulan lagi.

Pencurian kayu di hutan Aceh bukan hal yang tidak mungkin terjadi akibat tuntutan target dan banyaknya kayu yang dibutuhkan untuk membangun ratusan ribu rumah warga, gedung sekolah, puskesmas, perahu dan boat nelayan yang hancur maupun rusak akibat gempa dan tsunami dua tahun silam.

Kalau memang kebutuhan kayu yang demikian banyak, namun hutan Aceh tak boleh ditebang, lalu dari mana “emas hitam” itu akan diperoleh?

Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, Irwandi Yusuf, sebelumnya juga telah menetapkan moratorium loging untuk seluruh kawasan hutan Aceh dengan pemberian sanksi tagas kepada siapapun dan dari komponen manapun yang ingin merambah keperawanan hutan Aceh.

Hal itu dilakukan Gubernur untuk mewujudkan kembali keindahan hutan, keseimbangan alam serta mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana alam yang lebih besar di masa mendatang di Negeri Tanah Rencong ini.

Meskipun berbagai kebijakan telah dicanangkan oleh pihak eksekutif dan legislatif di Provinsi NAD, namun musibah banjir masih saja terjadi tiap tahunnya. Sedihnya lagi, bukan hanya lumpur dan bebatuan yang dibawa banjir, tapi gelondongan kayu berukuran kecil maupun besar juga ikut dibawa arus dan menghantam rumah-rumah penduduk.

Saat ini kita hanya bisa berharap kejadian yang serupa tidak terulang lagi di Aceh. Tentunya hal itu hanya dapat terwujud jika seluruh komponen di Aceh mampu menerima komitmen bersama (moratorium loging) dengan ikhlas dan penuh tanggungjawab. Semoga!!![]

Isu Pemekaran Aceh Bisa Picu Konflik Horizontal

Banda Aceh, 12/2/2008.

Munculnya isu pemekaran wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) menjadi tiga provinsi kembali mendapat tentangan dari pihak yang kontra. Kali ini, kalangan Majelis GAM dan Acheh Center di Amerika Serikat juga angkat bicara. Mereka meminta agar isu pemekaran Aceh segera dihapuskan karena dinilai dapat menggangu kestabilan politik dan ekonomi di Aceh dan berpengaruh menimbulkan konflik horizontal di provinsi itu.

Sehubungan dengan semakin maraknya isu pemekaran Provinsi NAD untuk dijadikan tiga provinsi oleh pemerintah Indonesia dengan diikutsertakan oleh pejabat-pejabat elit dari Aceh Leuser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan (Abas) yang berbuntut pada pengibaran spanduk dukungan di beberapa wilayah barat selatan Aceh, telah menimbulkan kekacauan dan keresahan di dalam masyarakat yang berdampak terusiknya perdamaian yang telah dirasakan oleh segenap masyarakat Aceh secara keseluruhan dan khususnya masyarakat Aceh di ALA dan Abas,” ujar Ketua Majelis GAM di Amerika, Bustami Ibrahim dalam siaran persnya yang diterima Analisa, Senin (11/2).

Elit Politik

Ia memperkirakan, pengibaran spanduk dukungan ALA dan Abas ini dilakukan oleh elit politik di Meulaboh yang dibantu oleh beberapa oknum tertentu, dan isu ini secara jelas dapat menimbulkannya konflik horizontal yang berakibat fatal bagi kehidupan masyarakat Aceh yang cinta perdamaian.

“Isu pemekaran Nanggroe Aceh Darussalam ini sengaja didengungkan oleh pihak yang terlihat anti dan menyesali perdamaain yang telah dirintis bersama dengan GAM di Helsinki, Finlandia,” sebutnya.

Bustami Ibrahim didampingi Muhammad Nurul Alkhalil, President Acheh Center di Amerika menambahkan, ini menjadi gambaran kepada semua pihak tentang tidak adanya itikad baik di dalam berbagai hal dalam memajukan perdamaian Aceh.

Hal ini juga terlihat dengan merusakkannya butir-butir MoU Helsinki dalam menyusun dan mensahkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang sangat bertentangan dengan semangat MoU Helsinki itu sendiri.

“Ketika isu pemekaran mencuat kembali, kita sebagai masyarakat Aceh teringat kepada betapa pentingnya keutuhan Aceh, karena apa yang terjadi saat ini bukanlah sebuah jawaban dari perdamaian yang abadi di Aceh yang telah diperjuangkan dengan sekuat tenaga oleh seluruh rakyat Aceh,” ujarnya.

Bustami juga meminta pemerintah untuk segera merevisi UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang belum sesuai dengan MoU Helsinki.

“Kita mengharapkan pemerintah Indonesia menegakkan dan melaksanakan semua isi MoU Helsinki di Aceh,” pintanya.

Bukan Hal Luar Biasa

Sementara gonjang ganjing pembentukan Provinsi Aceh Barat Selatan (Abas) mulai menghangat sepanjang bulan ini. Di Aceh Selatan, menurut pantauan, di tengah berkembangnya pro kontra muncul tanggapan yang melihat ide pemekaran bukan hal luar biasa.

Seperti dikemukakan Sekretaris Komisi D DPRK setempat, Ir.Baidarus Isa, kepada Analisa Senin (11/2), yang mengatakan dirinya melihat hal itu sebagai sesuatu yang wajar jika memang tujuannya untuk percepatan pembangunan. Karena sudah terbukti katanya, beberapa daerah yang dimekarkan mengalami kemajuan pesat sepanjang dekade terakhir. Karenanya dia melihat hal ini wajar saja, makanya tak perlu risau.

Ditambahkan, Aceh sangat luas sehingga diperlukan “pemangkasan” rentang kendali untuk mencapai efektifitas pemerataan pembangunan. Fakta menunjukkan, yang terjadi selama ini adalah, beberapa daerah yang letaknya berjauhan dari pusat kendali pemerintahan provinsi jauh tertinggal di berbagai aspek dibanding daerah yang lebih dekat, dan ini menggambarkan adanya ketimpangan dan ketidak adilan pembangunan selama ini.

Dia memberi contoh, salah satunya yang tertinggal jauh adalah Aceh Selatan, dan ketertinggalan itu tampak jelas. Kondisi prasarana sektor perhubungan darat adalah salah satu contoh yang tak bisa disembunyikan.

Selama puluhan tahun kondisi buruk ruas jalan satu-satunya yang menghubungkan Aceh dengan Sumatera Utara tak pernah dibenahi serius, kecuali hanya perbaikan demi perbaikan yang sifatnya tambal sulam.

Baidarus mengatakan, seperti ruas yang membentang di tiga gunung dekat Tapaktuan, perbaikan dari masa ke masa hanya dalam bentuk “memoles” permukaan jalan tanpa menyentuh konstruksi dasar jalan itu sendiri sehingga kerusakan kembali terus menerus terjadi sepanjang tahun.

“Makanya hubungan sering terganggu, pada saat yang sama kita menyadari tingginya ketergantungan ke Sumatera Utara, baik sebagai pasar penjualan hasil kekayaan alam Aceh maupun sebagai daerah pemasok berbagai kebutuhan pokok untuk kabupaten-kabupaten di sepanjang pesisir barat NAD”, kata Baidarus.

Makanya, kata Baidarus Isa, pemekaran penting untuk mempercepat kemajuan daerah-daerah tertinggal di Provinsi NAD. Dan dia berpendapat tidak perlu cemas terhadap ide pemekaran, karena pemekaran tidak otomatis menghilangkan identitas keacehan.

Hal senada diungkapkan Azmir,SH dalam kapasitasnya sebagai warga Aceh Selatan dengan menambahkan, pemekaran hanya untuk mempersingkat jalur birokrasi, bukan untuk memutus rantai budaya. “Walau dimekarkan, identitas keacehan akan tetap utuh”, katanya.

Percepatan Pembangunan

Ditambahkan, jika dilihat tujuan pemekaran adalah untuk percepatan pembangunan dan demi perbaikan masa depan rakyat, hal itu malah baik. “Jadi ini positif, dan tidak ada yang luar biasa, semuanya wajar-wajar saja”, tandasnya.

Azmir, sebagai Ketua Komisi D DPRK Aceh Selatan ketika dimintai tanggapannya mengaku tidak mau bicara atas nama lembaga. “Sebagai warga saya merasakan adanya ketidak adilan pembangunan di provinsi ini, di mana Aceh Selatan dan sejumlah daerah lainnya jauh tertinggal, makanya sebagai warga Aceh Selatan saya sangat mendukung ide pemekaran sehingga Aceh secara keseluruhan bisa mengalami kemajuan”, sebutnya.

Baik Azmir maupun Baidarus, dalam keterangannya menolak menyinggung-nyinggung soal MoU Helsinki dalam kaitan pemekaran Aceh. Sebab sama sekali tidak ada kaitannya. “Kita tidak bicara soal MoU, tapi bicara menyangkut nasib dan masa depan rakyat, dan ini sudah mengemuka jauh sebelum lahirnya MoU Helsinki”, kata Baidarus Isa menjawab pertanyaan Analisa.

Sementara itu, diinformasikan, spanduk-spanduk menyangkut keinginan pemekaran Aceh yang bertebaran sejak Aceh Singkil, Aceh Selatan, hingga Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) sempat menarik perhatian publik.

Di Tapaktuan, spanduk antara lain terbentang di seputar jalan raya perempatan Kedai Aru dan simpang tiga arah Banda Aceh (simpang jalan menuju terminal bus terpadu).

Kedua spanduk dengan dasar putih dan huruf berwarna biru bertuliskan, “Dengan doa yang tulus, mudah-mudahan Provinsi Aceh Barat Selatan (Abas) dan Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) segera terwujud”. Di bawah kalimat itu tercantum (KP-3 ABAS dan DPRD se Aceh Barat Selatan).

Pada saat yang sama, pada lembaran Sekilas Info yang dikeluarkan Komite Pelaksana Pembentukan (KP-3) Provinsi ABAS antara lain dicantumkan, pembentukan Provinsi ABAS dan ALA sudah disepakati oleh fraksi-fraksi DPR-RI pada sidang paripurna tanggal 22 Januari 2008, untuk dibahas menjadi Undang-Undang dengan hak inisiatif DPR-RI.

Dicantumkan juga tentang rencana pembentukan Provinsi ABAS yang sudah dimulai sejak April 2003, sedangkan Provinsi ALA sudah dimulai sejak 1999. Dan kedua rencana pembentukan tersebut tidak ada kaitannya dengan MoU Helsinki yang lahir pada 15 Agustus 2005. (sumber analisa)