SELAMAT DATANG PARA PENCINTA KATA

Foto: sumberpost/Muksalmina

Foto: sumberpost/Muksalmina

Team sumberpost FC, memakai kostum berwarna kuning, berpose bersama dengan team Sanggar FC, pada pertandingan persahabatan di Lapangan IAIN Ar-Raniry, Darussalam-Banda Aceh.

Minggu, 08 Juni 2008

Isu Pemekaran Aceh Bisa Picu Konflik Horizontal

Banda Aceh, 12/2/2008.

Munculnya isu pemekaran wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) menjadi tiga provinsi kembali mendapat tentangan dari pihak yang kontra. Kali ini, kalangan Majelis GAM dan Acheh Center di Amerika Serikat juga angkat bicara. Mereka meminta agar isu pemekaran Aceh segera dihapuskan karena dinilai dapat menggangu kestabilan politik dan ekonomi di Aceh dan berpengaruh menimbulkan konflik horizontal di provinsi itu.

Sehubungan dengan semakin maraknya isu pemekaran Provinsi NAD untuk dijadikan tiga provinsi oleh pemerintah Indonesia dengan diikutsertakan oleh pejabat-pejabat elit dari Aceh Leuser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan (Abas) yang berbuntut pada pengibaran spanduk dukungan di beberapa wilayah barat selatan Aceh, telah menimbulkan kekacauan dan keresahan di dalam masyarakat yang berdampak terusiknya perdamaian yang telah dirasakan oleh segenap masyarakat Aceh secara keseluruhan dan khususnya masyarakat Aceh di ALA dan Abas,” ujar Ketua Majelis GAM di Amerika, Bustami Ibrahim dalam siaran persnya yang diterima Analisa, Senin (11/2).

Elit Politik

Ia memperkirakan, pengibaran spanduk dukungan ALA dan Abas ini dilakukan oleh elit politik di Meulaboh yang dibantu oleh beberapa oknum tertentu, dan isu ini secara jelas dapat menimbulkannya konflik horizontal yang berakibat fatal bagi kehidupan masyarakat Aceh yang cinta perdamaian.

“Isu pemekaran Nanggroe Aceh Darussalam ini sengaja didengungkan oleh pihak yang terlihat anti dan menyesali perdamaain yang telah dirintis bersama dengan GAM di Helsinki, Finlandia,” sebutnya.

Bustami Ibrahim didampingi Muhammad Nurul Alkhalil, President Acheh Center di Amerika menambahkan, ini menjadi gambaran kepada semua pihak tentang tidak adanya itikad baik di dalam berbagai hal dalam memajukan perdamaian Aceh.

Hal ini juga terlihat dengan merusakkannya butir-butir MoU Helsinki dalam menyusun dan mensahkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang sangat bertentangan dengan semangat MoU Helsinki itu sendiri.

“Ketika isu pemekaran mencuat kembali, kita sebagai masyarakat Aceh teringat kepada betapa pentingnya keutuhan Aceh, karena apa yang terjadi saat ini bukanlah sebuah jawaban dari perdamaian yang abadi di Aceh yang telah diperjuangkan dengan sekuat tenaga oleh seluruh rakyat Aceh,” ujarnya.

Bustami juga meminta pemerintah untuk segera merevisi UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang belum sesuai dengan MoU Helsinki.

“Kita mengharapkan pemerintah Indonesia menegakkan dan melaksanakan semua isi MoU Helsinki di Aceh,” pintanya.

Bukan Hal Luar Biasa

Sementara gonjang ganjing pembentukan Provinsi Aceh Barat Selatan (Abas) mulai menghangat sepanjang bulan ini. Di Aceh Selatan, menurut pantauan, di tengah berkembangnya pro kontra muncul tanggapan yang melihat ide pemekaran bukan hal luar biasa.

Seperti dikemukakan Sekretaris Komisi D DPRK setempat, Ir.Baidarus Isa, kepada Analisa Senin (11/2), yang mengatakan dirinya melihat hal itu sebagai sesuatu yang wajar jika memang tujuannya untuk percepatan pembangunan. Karena sudah terbukti katanya, beberapa daerah yang dimekarkan mengalami kemajuan pesat sepanjang dekade terakhir. Karenanya dia melihat hal ini wajar saja, makanya tak perlu risau.

Ditambahkan, Aceh sangat luas sehingga diperlukan “pemangkasan” rentang kendali untuk mencapai efektifitas pemerataan pembangunan. Fakta menunjukkan, yang terjadi selama ini adalah, beberapa daerah yang letaknya berjauhan dari pusat kendali pemerintahan provinsi jauh tertinggal di berbagai aspek dibanding daerah yang lebih dekat, dan ini menggambarkan adanya ketimpangan dan ketidak adilan pembangunan selama ini.

Dia memberi contoh, salah satunya yang tertinggal jauh adalah Aceh Selatan, dan ketertinggalan itu tampak jelas. Kondisi prasarana sektor perhubungan darat adalah salah satu contoh yang tak bisa disembunyikan.

Selama puluhan tahun kondisi buruk ruas jalan satu-satunya yang menghubungkan Aceh dengan Sumatera Utara tak pernah dibenahi serius, kecuali hanya perbaikan demi perbaikan yang sifatnya tambal sulam.

Baidarus mengatakan, seperti ruas yang membentang di tiga gunung dekat Tapaktuan, perbaikan dari masa ke masa hanya dalam bentuk “memoles” permukaan jalan tanpa menyentuh konstruksi dasar jalan itu sendiri sehingga kerusakan kembali terus menerus terjadi sepanjang tahun.

“Makanya hubungan sering terganggu, pada saat yang sama kita menyadari tingginya ketergantungan ke Sumatera Utara, baik sebagai pasar penjualan hasil kekayaan alam Aceh maupun sebagai daerah pemasok berbagai kebutuhan pokok untuk kabupaten-kabupaten di sepanjang pesisir barat NAD”, kata Baidarus.

Makanya, kata Baidarus Isa, pemekaran penting untuk mempercepat kemajuan daerah-daerah tertinggal di Provinsi NAD. Dan dia berpendapat tidak perlu cemas terhadap ide pemekaran, karena pemekaran tidak otomatis menghilangkan identitas keacehan.

Hal senada diungkapkan Azmir,SH dalam kapasitasnya sebagai warga Aceh Selatan dengan menambahkan, pemekaran hanya untuk mempersingkat jalur birokrasi, bukan untuk memutus rantai budaya. “Walau dimekarkan, identitas keacehan akan tetap utuh”, katanya.

Percepatan Pembangunan

Ditambahkan, jika dilihat tujuan pemekaran adalah untuk percepatan pembangunan dan demi perbaikan masa depan rakyat, hal itu malah baik. “Jadi ini positif, dan tidak ada yang luar biasa, semuanya wajar-wajar saja”, tandasnya.

Azmir, sebagai Ketua Komisi D DPRK Aceh Selatan ketika dimintai tanggapannya mengaku tidak mau bicara atas nama lembaga. “Sebagai warga saya merasakan adanya ketidak adilan pembangunan di provinsi ini, di mana Aceh Selatan dan sejumlah daerah lainnya jauh tertinggal, makanya sebagai warga Aceh Selatan saya sangat mendukung ide pemekaran sehingga Aceh secara keseluruhan bisa mengalami kemajuan”, sebutnya.

Baik Azmir maupun Baidarus, dalam keterangannya menolak menyinggung-nyinggung soal MoU Helsinki dalam kaitan pemekaran Aceh. Sebab sama sekali tidak ada kaitannya. “Kita tidak bicara soal MoU, tapi bicara menyangkut nasib dan masa depan rakyat, dan ini sudah mengemuka jauh sebelum lahirnya MoU Helsinki”, kata Baidarus Isa menjawab pertanyaan Analisa.

Sementara itu, diinformasikan, spanduk-spanduk menyangkut keinginan pemekaran Aceh yang bertebaran sejak Aceh Singkil, Aceh Selatan, hingga Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) sempat menarik perhatian publik.

Di Tapaktuan, spanduk antara lain terbentang di seputar jalan raya perempatan Kedai Aru dan simpang tiga arah Banda Aceh (simpang jalan menuju terminal bus terpadu).

Kedua spanduk dengan dasar putih dan huruf berwarna biru bertuliskan, “Dengan doa yang tulus, mudah-mudahan Provinsi Aceh Barat Selatan (Abas) dan Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) segera terwujud”. Di bawah kalimat itu tercantum (KP-3 ABAS dan DPRD se Aceh Barat Selatan).

Pada saat yang sama, pada lembaran Sekilas Info yang dikeluarkan Komite Pelaksana Pembentukan (KP-3) Provinsi ABAS antara lain dicantumkan, pembentukan Provinsi ABAS dan ALA sudah disepakati oleh fraksi-fraksi DPR-RI pada sidang paripurna tanggal 22 Januari 2008, untuk dibahas menjadi Undang-Undang dengan hak inisiatif DPR-RI.

Dicantumkan juga tentang rencana pembentukan Provinsi ABAS yang sudah dimulai sejak April 2003, sedangkan Provinsi ALA sudah dimulai sejak 1999. Dan kedua rencana pembentukan tersebut tidak ada kaitannya dengan MoU Helsinki yang lahir pada 15 Agustus 2005. (sumber analisa)

1 komentar:

REZA mengatakan...

ASSALAMUALAIKUM,
MANTAP ANG KINI YO NIZWAR, ALAH BERMAIN POLITIK....
ELOK2 LETING KITO ALAH SAKETEK, NDAK NANDAK MBO BAKURANG LAE???